Rabu, 20 Februari 2008

Pengobatan Kanker dengan Spons

Peneliti wanita dari LIPI mendapat beasiswa dari L'Oreal dan UNESCO karena temuan mikroorganisme dalam tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan antibiotik.
Jakarta -- Doktor Robert Campbell tak peduli nyawanya terancam oleh para penebang hutan liar. Baginya, desa dan hutan Amazon harus selamat karena di dalamnya terkandung sumber obat-obatan, terutama satu jenis tanaman endemik yang bunganya diketahui dapat menyembuhkan semacam kanker yang menyerang penduduk pribumi di desa Amazon itu.Memang, ini cerita hanya penggalan film Medicine Man (1992). Doktor Campbell tadi hanya tokoh rekaan yang diperankan aktor Sean Connery. Tapi, ada kemiripan dengan yang sedang dihadapi Ines Irene Caterina Atmosukarto, peneliti wanita di Pusat Penelitian Bioteknologi pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Cibinong, Jawa Barat. Ines, begitu ia akrab dipanggil, memang tak sedang berhadapan langsung dengan kelompok perusak hutan itu, tapi ia menyadari pentingnya konservasi terhadap hutan hujan tropis karena di sanalah sumber pengobatan berbagai penyakit tersimpan dan belum ditemukan.Hutan hujan tropis seperti di Amazon di Amerika Selatan atau hutan Sumatera, Kalimantan, dan Papua, manfaatnya tak hanya menjadi paru-paru bumi yang mendaur ulang gas rumah kaca karbon dioksida menjadi oksigen, tapi juga menyimpan senyawa kimia yang berpotensi mengobati penyakit. Bayangkan saja, meski hanya menutupi 6 persen permukaan bumi, di hutan hujan tropis inilah separuh spesies makhluk hidup yang ada di bumi hidup, menyediakan manfaat pengobatan secara nyata yang baru satu persen saja dari flora dan fauna itu yang diketahui memiliki potensi pengobatan.Menurut National Cancer Institute Amerika Serikat, sekitar 70 persen dari 3.000 tumbuhan yang telah teridentifikasi memiliki khasiat antikanker merupakan tanaman endemik di hutan hujan tropis. Tak hanya itu, penyakit malaria yang telah terbukti dapat diobati dengan senyawa dari tumbuhan hutan, bahkan kini penyakit seperti multiple sclerosis, parkinson, dan gangguan otot lainnya mulai ditemukan penawarnya dari hutan.Karena potensi itulah Ines setuju sekali pepatah: alam adalah ahli kimia yang paling hebat, karena banyak struktur kimia di alam yang masih belum bisa disintesis di laboratorium.Itulah sebabnya, sejak dua tahun lalu, Ines memfokuskan penelitiannya terhadap endofit--mikroorganisme yang dapat berupa kapang atau bakteri yang hidup di ruang antarsel tumbuhan yang ternyata memiliki potensi sebagai antibiotik dan herbisida. Apalagi Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terkaya setelah Brasil, sehingga besar kemungkinan lebih banyak lagi endofit yang tersimpan dalam tubuh tumbuhannya. Bukan tak mungkin, beberapa endofit itu memiliki khasiat pengobatan penyakit. Menurut Ines, negara kita yang beriklim tropis sangat ideal untuk tumbuhnya jamur dan bakteri, sehingga kemungkinan persaingan antarendofit pun lebih tinggi juga seleksi alam yang berlaku. "Endofit yang dapat bertahan adalah yang memiliki keunggulan, yakni yang dapat memproduksi sesuatu--senyawa metabolit sekunder--yang tidak dapat diproduksi oleh yang lainnya," ungkap doktor biologi molekuler dari University of Adelaide, Australia, ini. Itulah sebabnya, Ines menganggap endofit sebagai pabrik kimia yang canggih.Ines tak sekadar bicara, sejak 2002 ia bersama timnya dari LIPI dan PT Indo Bio Pertiwi telah melakukan pengumpulan sampel tumbuhan. Kala itu, mereka mengambil sampel bukan dari hutan liar, melainkan dari empat kebun raya miliki LIPI: Kebun Raya Bogor, Cibodas, Bali, dan Purwodadi. Dari 516 pohon mereka berhasil menemukan sekitar 5.000 endofit.Menurut Ines, dalam satu jenis tumbuhan bisa terdapat satu sampai 10 jenis endofit. "Endofitnya bisa hanya kapang atau bakteri, tapi kebanyakan ada kedua-duanya," kata ibu dari seorang putri ini. Namun, antara kapang dan bakteri, endofit yang paling banyak ditemukan adalah berupa fungi atau kapang, yakni dua pertiganya.Dari 5.000 endofit itu, baru seperempatnya yang sudah di-screening awal untuk dicari bahan aktifnya. "Baru 1.500 endofit bakteri yang telah di-screening dan ditemukan sekitar 40 yang berpotensi sebagai antibiotik dan 70 yang berpotensi sebagai herbisida," ungkap Ines.Ke depan, Ines memiliki ambisi menemukan endofit yang dapat menghasilkan zat antif anti-virus atau penawar AIDS. Meski mengakui belum ada literatur yang mendukung hipotesisnya, tapi Ines melihat endofit sebagai semacam pabrik penghasil molekul kimiawi baru. "Dengan memilih metoda penguji yangtepat kami ingin melihat apakah dari sekian banyak molekul yang diproduksinya ada yang dapat mempunyai fungsi khusus," Ines menjelaskan. Fungsi khusus itu misalnya dapat mencegah multifikasi dan keluarnya virus HIV dari sel yang diinfeksinya.Untuk itu, ia sedang menjajaki kerja sama dengan sebuah universitas di Canberra, Australia, yang memiliki paten metode pengujian kandungan aktif endofit. Metode itu terbukti berfungsi ketika diujikan pada pustaka bahan kimia milik perusahaan farmasi. Kini, mereka berminat menguji kandungan aktif dari bahan lain, misalnya endofit ini, tapi karena mereka tak memiliki pustaka endofit, sedangkan kita punya."Sekarang dalam tahap penyiapan MoU dengan pihak Australia itu," ujar Ines. Menurut dia, kita harus berhati-hati karena ini berkaitan dengan kekayaan alam Indonesia, agar jangan sampai kita kehilangan hak.Selain bekerja dengan pustaka endofit yang telah dimilikinya, Ines berencana mengumpulkan endofit dari tumbuhan obat yang sudah terbukti secara turun menurun. "Kita ingin melihat apakah endofit dalam tanaman obat itu memiliki khasiat pengobatan atau tidak," ujar Ines. Untuk itu, Ines akan mengunjungi hutan Tesso Nilo di Riau. Hutan itu dipilih karena berdasarkan survei World Wild Fund, hutan Tesso Nilo memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, bahkan melebihi hutan Amazon. Survei itu mengambil sampel spesies di area seluas 200 meter persegi dan menemukan ada 218 jenis tanaman."Tesso Nilo termasuk hutan yang relatif masih perawan," katanya. Misi lainnya adalah untuk upaya konservasi karena di Riau marak terjadi penebangan hutan liar. "Kita ingin memperlihatkan kepada masyarakat bahwa hutannya memiliki tanaman yang berkhasiat obat, jadi dapat dipakai untuk meyakinkan pemerintah dan warga setempat untuk melindunginya dari penebangan liar," kata wanita yang meraih beasiswa melalui jalur Proyek Habibie pada 1992 itu.Ines mengambil contoh, temuan yang dihasilkan Profesor Gary A. Strobel dari Departemen Ilmu Tanaman pada Montana State University, Amerika. Profesor Strobel ini meneliti tumbuhan di Australia dan menemukan bahwa sejenis tumbuhan "sirih" yang biasa dipakai bangsa Aborigin untuk menyembuhkan luka ternyata mengandung empat endofit yang berkhasiat sebagai antibiotik baru.Keberhasilan itu membuat Ines ingin mengunjungi laboratorium Strobel dan belajar darinya bagaimana menemukan endofit itu. "Terus terang, sejauh ini kita hanya mengetahuinya dari bahan bacaan dan biasanya tiap laboratorium itu punya trik-trik khusus," ujarnya.Bak gayung bersambut, Ines dapat mewujudkan keinginannya itu setelah memenangkan fellowship dari program L'oreal for Women in Science yang diselenggarakan perusahaan kosmetik L'oreal dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO). Ines menjadi wanita Indonesia yang menerima beasiswa ini dan termasuk salah satu dari tiga wakil Asia Pasifik dari 15 wanita di seluruh dunia yang mendapatkannya tahun ini. Ia menyisihkan sekitar 300 wanita lainnya. Dengan beasiswa US$ 20 ribu, Ines dapat melanjutkan penelitian endofitnya di bawah bimbingan Profesor Strobel.Ines menyadari banyak yang skeptis dengan penelitiannya. Misalnya, jika sudah diketahui suatu tanaman berkasiat sebagai obat, buat apa lagi meneliti endofitnya. Bagi Ines, penelitiannya ini tak akan menjawab apakah yang berperan dalam tanaman obat itu adalah tanamannya sendiri atau endofitnya. "Saya ingin mengatakan, tanaman obat bisa menghasilkan dan endofitnya pun juga dapat menghasilkan. Menurut Ines, kalau endofitnya yang menghasilkan, produksi massalnya pun akan menjadi lebih mudah. Bayangkan, jika harus menanam tumbuhannya akan diperlukan berhektare-hektare lahan, tapi kalau endofit tinggal ditumbuhkan dalam fermentor.Tapi mengisolasi endofit ini diakui Ines tak semudah mengisolasi mikroba tanah. "Metodenya cukup sederhana, yang penting sampel tanaman harus disterilkan bagian luarnya untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme lain. Lalu, jaringan dalam diekspos dan diletakkan dalam media isolasi tertentu di cawan petri," ujar Ines. dody hidayat
Apa Itu Endofit?Definisi: Secara definisi, mikroorganisme disebut sebagai endofit jika berada dalam tubuh tumbuhan setidaknya satu bagian dari siklus hidupnya. Jadi, tak boleh hanya numpang lewat atau menyebabkan penyakit (patogen). Menurut Ines, belum banyak penelitian yang fokus pada endofit itu sendiri, misalnya, bagaimana ia dapat berada di dalam tumbuhan dan bagaimana hubungannya dengan inangnya itu.Endofit mulai marak diteliti setelah ditemukan menghasilkan racun pada beberapa jenis rumput yang menyebabkan ternak jatuh sakit. Ternyata, ada endofit dalam rumput yang tak mengganggu rumput, malah memberinya perlindungan dari "pemangsa alamiah".Endofit ini di dalam tanaman berada di ruang antarsel dan bisa terlihat dengan mikroskop. Diduga, endofit awalnya ada di luar tubuh tanaman yang kemudian masuk jika terjadi luka pada tanaman. Jika sudah berada dalam tanaman, endofit akan menetap. Namun, diakui Ines, belum banyak penelitian khusus tentang endofit, seperti cara metabolismenya, apakah ia menetap selamanya di tanaman. Tapi, yang pasti, endofit ini berkembang biak di dalam tanaman tanpa menyebabkan penyakit bagi tanaman inangnya.Masih belum ada penelitian yang membuktikan apakah endofit memiliki spesifikasi tertentu, misalnya apakah satu endofit selalu muncul pada jenis tumbuhan yang sama di tempat yang berbeda. Soalnya, banyak faktor luar seperti curah hujan dan polusi juga mempengaruhi populasi endofit dalam tanaman. Tapi, mulai tahun ini ada beberapa mahasiswa yang melakukan penelitiannya.Menurut Ines, pada dasarnya hampir semua tanaman memiliki endofit. Diperkirakan setiap tanaman bisa menjadi reservoir untuk endofit. "Ia bisa hidup di akar, daun, ranting, rimpang, bahkan ada pula semacam mikroorganisme yang hidup dalam "tanaman laut" seperti sponge," kata Ines. "Kadang-kadang kita tak bisa menemukan endofit karena tanaman sudah tua atau karena penyimpanan yang terlalu lama menyebabkan endofitnya mati atau hilang," Ines menjelaskan. dod

Dikutip dari http://www.korantempo.com


Hasil uji aktivitas antioksidan
ekstrak Callyspongia sp. menggunakan
metode tiosianat menunjukkan tidak
adanya perbedaan aktivitas yang
bermakna (Anava searah dengan
tingkat kepercayaan 95%) dengan
pembanding vitamin C dan BHT

Hasil uji aktivitas antioksidan
ekstrak Callyspongia sp. menggunakan
metode tiosianat menunjukkan tidak
adanya perbedaan aktivitas yang
Pada metode tiosianat pengukuran
aktivitas antioksidan berdasarkan
daya penghambatan terbentuknya
senyawa-senyawa radikal
yang bersifat reaktif. Oksidasi asam
linoleat dipercepat oleh AAPH yang
merupakan senyawa penginduksi
pembentukan radikal bebas, yang
umumnya berupa peroksida lipid.
Dekomposisi AAPH menghasilkan
molekul nitrogen dan dua radikal
karbon yang dapat menghasilkan
produk yang stabil atau bereaksi
dengan molekul oksigen menghasilkan
radikal peroksil. Proses
oksidasi lemak menghasilkan produk
primer peroksida. (Mun’im, et al
2003). Bilangan peroksida dinyatakan
sebagai senyawa yang mampu
mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+, dan
selanjutnya Fe3+ dengan ion CNS
menghasilkan warna merah yang
diukur pada panjang gelombang
500 nm.
Pada pengamatan jam ke-4,
kontrol negatif menunjukkan
serapan sebesar 0,415, sedangkan
ekstrak Callyspongia sp mempunyai
serapan 0,133, vitamin C dan BHT
masing-masing 0,132 dan 0,146. Hal
ini berarti bahwa ekstrak Callyspongia
sp. mampu menghambat hasil oksidasi
asam linoleat maupun mereduksi
radikal bebas. Hasil uji statistik
(anava searah dengan nilai α 0,05)
menunjukkan bahwa ketiga larutan
yang diuji tidak memperlihatkan
perbedaan aktivitas antioksidan yang
bermakna.



Pereaksi Golongan Hasil
1. Lieberman-Buchard Terpenoid, steroid -
2. Mayer Alkaloid +
Dragendorf Alkaloid +
Bouchardat Alkaloid +
3. Zn/ HCl Flavonoid -
Mg/ HCl Flavonoid -
4. Benzen-NaOH Antrakinon -
5. Molisch Gula -
radikal bebas. Hasil uji statistik
(anava searah dengan nilai α 0,05)
menunjukkan bahwa ketiga larutan
yang diuji tidak memperlihatkan
perbedaan aktivitas antioksidan yang
bermakna.
Hasil identifikasi kimia menunjukkan
bahwa ekstrak Callyspongia sp.
mengandung senyawa alkaloid Tabel
2. Identifikasi lanjutan menggunakan
KLT silica gel GF254 dengan larutan
pengembang campuran methanol-
NH4OH (200 : 3) memperlihatkan
adanya bercak dengan Rf 0,33, yang
pada pengamatan sinar UV memberikan
warna kuning hijau. Bercak
ini memberikan warna jingga dengan
pereaksi Dragendorff, berarti bahwa
bercak tersebut merupakan senyawa
golongan alkaloid. Pada uji dengan
pereaksi DPPH, bercak ini memberikan
aktivitas peredaman radikal
bebas, berarti senyawa yang mempunyai
aktivitas antioksidan dalam
ekstrak Callyspongia sp. adalah senyawa
golongan alkaloid.
Penelitian lanjutan sedang dikerjakan
untuk mengisolasi senyawa
dan menentukan struktur kimia
senyawa alkaloid tersebut.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa ekstrak Callyspongia
sp. mempunyai aktivitas
antioksidan, dan senyawa yang
berkhasiat sebagai antioksidan
termasuk golongan alkaloid.

Dikutip dari http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2005/v02n03/endang0203.pdf

Tidak ada komentar: